Sunday, March 28, 2010

Penerapan Asas Pembuktian Terbalik

Asas pembuktian terbalik adalah sebuah aturan hukum yang mengharuskan seseorang untuk membuktikan kekayaan yang dimiliknya. Seseorang yang diduga melakukan korupsi atau suap dapat membantah tuduhan itu apabila mampu menunjukan bukti darimana asal kekayaanya.

Sejak Mencuatnya Skandal Kasus Gayus Tambunan dapat dijadikan "pintu" untuk mereformasi total Ditjen Pajak terkait dengan pendapatan dan pemanfaatan hasil pajak bagi negara, ungkap Ketua Masyarakat Madani, Ismed Hasan Putro. "Kini saatnya Presiden SBY bersinergi dengan KPK untuk secara khusus melakukan pembuktian terbalik terhadap kekayaan pegawai dan pejabat pajak".

Sementara Denny Indrayana,  Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengakui, sudah tiga kali bertemu dengan Gayus Tambunan (Sebelum Kabur Ke Singapura). Menurut Denny Indrayana, keputusan satgas menindaklanjuti kasus dugaan mafia hukum di tubuh Kepolisian yang melibatkan perkara pajak, bukan hanya didasari oleh keterangan Susno Duadji, tetapi juga keterangan yang langsung diperoleh Satgas dari Gayus Tambunan. Jika Gayus Tambunan memang Tidak Bersalah dia seharusnya mampu melakukan pembuktian terbalik untuk tabungan sejumlah 25M yang dimilikinya .

Aturan perundang-undangan di Indonesia belum efektif menjerat koruptor. Buktinya, meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bekerja selama lebih dari lima tahun, Indonesia masih menduduki peringkat pertama negara terkorup di Asia Tenggara.

Dari perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, suap dikatakan sebagai kejahatan yang sulit pembuktiannya (invisible crime). Di negara-negara Anglo Saxon pun suap yang menjadi kendala, makanya lalu keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia.

Pembuktian terbalik itu, perlu dilakukan khususnya pada pegawai dan pejabat pajak yang gaya hidup dan kekayaannya melebihi pengusaha dan profesional yang menjadi wajib pajak.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa remunerasi pegawai pajak selama ini tidak pernah mengubah mental koruptif dan praktik transaksional yang sudah membudaya di kalangan aparat Ditjen Pajak. "Praktik yang telah membudayakan di kalangan aparat Ditjen Pajak adalah praktik transaksional yang ditawarkan aparat pajak kepada WP, atau yang dikenal dengan `peternakan wajib pajak, yakni wajib pajak seringkali tidak membayar sesuai kewajibannya" Ungkap Ismed.

"Untuk membiayai pembangunan nasional, pajak seharusnya dikelola dan dimanfaatkan sesuai peruntukkan, apalagi 70 persen sumber APBN berasal dari pajak. "Mestinya pajak dieksplorasi sesuai dengan potensinya. Namun justru yang terjadi, target yang ditetapkan pemerintah melalui APBN tidak tercapai, kendati potensi pajak yang ada cukup besar" Ungkap Ismed.

Source : TvOne, Okezone, ilmuhukum76.wordpress.com

Possibly Related Article



No comments: